KAIDAH KETIGA
Kaidah ketiga: bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus kepada manusia yang berbeda-beda
peribadahannya. Sebagian mereka ada yang beribadah kepada
malaikat, ada yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang
shalih, ada yang beribadah kepada bebatuan dan pepohonan, dan
ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka semuanya dan tidak membeda-bedakan mereka [9] .
Kaidah ketiga: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada
orang-orang dari kalangan musyrikin. Di antara mereka ada yang
menyembah malaikat. Sebagian mereka ada yang menyembah matahari
dan bulan. Sebagian mereka ada yang menyembah berhala, bebatuan,
dan pepohonan. Dan sebagian yang lain menyembah para wali dan
orang shalih.
Dan ini termasuk dari buruknya kesyirikan yaitu bahwa pelakunya tidak
bersepakat dalam satu perkara. Berbeda halnya dengan orang yang
bertauhid, karena sesungguhnya sesembahan mereka adalah satu yaitu
Allah subhanahu wa ta’ala. “Apakah rabb-rabb yang berbeda-beda itu
lebih baik ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Berkuasa. Tidaklah yang kalian sembah selain Allah itu kecuali nama-nama yang telah kalian
namakan sendiri.” (QS. Yusuf: 39-40).
Maka, termasuk sisi negatif dan kebatilan kesyirikan adalah bahwa
pelakunya berbeda-beda dalam ibadah-ibadah mereka. Tidak ada satu
ketentuan pun yang dapat menyatukan mereka. Hal ini karena mereka
tidak berjalan di atas pondasi yang benar. Hanyalah mereka berjalan
mengikuti hawa nafsu dan propaganda para penyesat. Akibatnya
banyak timbul perpecahan di antara mereka. “Allah telah membuat
sebuah perumpamaan seorang (hamba sahaya) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang
hamba sahaya yang menjadi milik penuh seorang (saja). Apakah
keduanya sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29). Sehingga, orang yang
beribadah kepada Allah semata keadaannya seperti hamba sahaya yang
diperbudak oleh satu tuan yang dia bisa tenang bersamanya. Karena ia
mengerti maksud dan keinginan tuannya sehingga ia tenang
bersamanya. Sedangkan orang musyrik keadaannya seperti hamba
sahaya yang dimiliki beberapa tuan. Ia tidak tahu tuan yang mana yang
ia buat ridha dengannya. Setiap tuannya memiliki selera dan
permintaan sendiri-sendiri. Setiap tuannya memiliki keinginan. Dan
setiap tuannya ingin agar budak itu ada di sisinya. Oleh karena itu, Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Allah telah membuat
sebuah perumpamaan seorang (hamba sahaya) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan” yakni:
beberapa tuan memiliki seorang budak itu, budak itu tidak tahu siapa di
antara mereka yang hendak ia buat ridha. “Dan seorang hamba sahaya
yang menjadi milik penuh seorang (saja)” pemilik budak ini satu tuan
saja sehingga budak ini tenang dengannya. Inilah perumpamaan yang
Allah buat untuk orang musyrik dan orang yang bertauhid.
Jadi, orang-orang musyrik itu berpecah belah di dalam ibadah mereka.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka dan tidak
membeda-bedakan mereka. Beliau memerangi penyembah berhala,
memerangi Yahudi dan Nashara, memerangi Majusi. Beliau memerangi
seluruh orang musyrik, memerangi orang-orang yang menyembah
malaikat dan orang-orang yang menyembah wali-wali yang shalih.
Beliau tidak membeda-bedakan mereka.
Sehingga ini merupakan bantahan kepada orang yang mengatakan:
Orang-orang yang menyembah berhala tidak sama dengan orang yang
menyembah orang shalih dan malaikat, karena penyembah berhala itu
menyembah bebatuan dan pepohonan, mereka menyembah bendabenda
mati. Adapun yang menyembah orang shalih dan wali Allah tidak
sama dengan orang yang menyembah berhala.
Mereka maukan dari ucapan itu bahwa orang yang menyembah
kuburan pada saat ini berbeda hukumnya dengan orang yang
menyembah berhala. Jadi dia tidak kafir dan amalannya tidak bisa
disebut kesyirikan, serta tidak boleh diperangi.
Maka kita jawab: Rasul tidak membeda-bedakan mereka. Bahkan beliau
menganggap mereka seluruhnya orang musyrik. Beliau menghalalkan
darah dan harta mereka. Beliau tidak membedakan mereka. Sehingga,
orang-orang yang menyembah Isa Al-Masih padahal Isa adalah Rasul
Allah, tetap saja beliau perangi. Adapun Yahudi, mereka menyembah
‘Uzair padahal beliau adalah termasuk nabi atau orang shalih mereka,
tetap saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perangi. Beliau tidak
membeda-bedakan mereka.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan perangilah
mereka sampai tidak ada fitnah sedikit pun dan sampai agama ini
hanya untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah: 194) [10] .
Sehingga syirik itu tidak ada perbedaan antara orang yang menyembah
orang shalih dengan yang menyembah berhala, bebatuan, dan
pepohonan. Karena syirik adalah ibadah kepada selain Allah apa pun itu.
Karenanya, Allah berfirman yang artinya, “Sembahlah Allah dan jangan
kalian sekutukan sesuatu pun dengannya.” (QS. An-Nisa`: 36). Dan kata
ش ا”
ًيئ “ ۡberbentuk nakirah dalam konteks larangan yang berarti umum
meliputi segala sesuatu. Umum meliputi setiap yang disekutukan
bersama Allah ‘azza wa jalla berupa malaikat, rasul-rasul, orang shalih,
wali-wali, bebatuan, dan pepohonan.Ucapan beliau: (Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan
perangilah mereka sampai tidak ada fitnah sedikit pun.”) yaitu dalil yang
menunjukkan untuk memerangi kaum musyrikin tanpa membedabedakan
mereka berdasar sembahan-sembahan mereka. Firman Allah
ta’ala yang artinya, “Dan perangilah mereka”, ini umum mencakup
seluruh orang musyrik, Allah tidak mengecualikan satu pun. Kemudian
Allah berfirman yang artinya, “sampai tidak ada fitnah sedikit pun.”
Fitnah di sini adalah kesyirikan. Sehingga artinya: tidak didapati satu
kesyirikan pun. Ini juga umum, syirik apa pun itu. Sama saja apakah
menyekutukan Allah dengan wali-wali dan orang shalih atau dengan
bebatuan dan pepohonan, atau dengan matahari dan bulan.
Dalil bahwa ada yang menyembah matahari dan bulan dan itu
adalah kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan
termasuk tanda-tandaNya adanya malam, siang, matahari, dan
bulan. Janganlah kalian sujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan.” (QS. Fushshilat: 37) [11] .
“dan sampai agama ini…” artinya sampai ibadah ini seluruhnya hanya
untuk Allah. Tidak ada satu sekutu pun di dalam ibadah ini, apa pun itu.
Jadi, tidak ada perbedaan antara syirik dengan wali-wali dan orang
shalih atau bebatuan dan pepohonan atau dengan setan-setan atau
selain mereka.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa di sana ada orang-orang yang sujud
kepada matahari dan bulan. Untuk itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang dari shalat ketika matahari terbit dan tenggelam
untuk menutup pintu kejelekan. Karena di sana ada orang-orang yang
sujud kepada matahari ketika terbit dan sujud kepadanya ketika
tenggelam. Sehingga kita dilarang untuk shalat di dua waktu ini,
meskipun shalat itu ditujukan untuk Allah, akan tetapi ketika shalat di
dua waktu ini menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, maka
dilarang dari hal tersebut sebagai upaya untuk menutup pintu kejelekan
yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah datang membawa syariat yang melarang dari
kesyirikan sekaligus menutup pintu yang dapat menyampaikan kepadanya.
Dalil bahwa ada yang menyembah malaikat dan hal tersebut
merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan Dia tidak memerintahkan kalian untuk menjadikan para
malaikat dan nabi sebagai rabb-rabb.” (QS. Ali ‘Imran: 80) [12] .
Ucapan beliau: “Dan dalil malaikat…” dst, menunjukkan bahwa di sana
ada orang-orang yang menyembah malaikat dan para nabi dan bahwa
hal tersebut adalah kesyirikan.
Dan para pemuja kuburan pada hari ini mengatakan bahwa orang yang
menyembah para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih tidaklah
kafir.
Dalil bahwa ada orang yang menyembah para nabi dan itu
merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan ingatlah, ketika Allah mengatakan, Wahai ‘Isa bin Maryam
apakah engkau mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan
ibuku dua sesembahan selain Allah? ‘Isa menjawab: Maha suci
Engkau, tidak pantas bagiku untuk mengatakan perkataan yang
tidak benar. Jika aku telah mengatakannya, maka sungguh Engkau
telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diriMu.
Sesungguhnya Engkau adalah maha mengetahui hal-hal yang
ghaib.” (QS. Al-Maidah: 13) [13] .
Ucapan beliau, “Dan dalil para nabi… dst.” Pada ucapan beliau terdapat
dalil bahwa peribadahan kepada para nabi adalah kesyirikan
sebagaimana beribadah kepada berhala. Di dalam ucapan beliau juga
terdapat bantahan terhadap orang yang membeda-bedakan dalam
perkara ini dari kalangan para pemuja kuburan.
Dalil bahwa ada orang yang menyembah orang-orang shalih dan
perbuatan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala
yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan
takut akan azabNya.” (QS. Al-Isra`: 57) [14] .
Ucapan beliau membantah orang-orang yang mengatakan bahwa syirik
adalah menyembah berhala. Menurut mereka tidak bisa disamakan
antara orang yang menyembah berhala dengan orang yang menyembah
wali atau orang shalih. Mereka juga mengingkari penyamarataan
tersebut. Mereka menyangka bahwa syirik itu terbatas pada menyembah berhala saja. Tentu, ini adalah kekeliruan yang nyata dari
dua sisi:
- Sisi pertama: bahwa Allah jalla wa ‘ala mengingkari seluruh
jenis kesyirikan tersebut di dalam Al-Qur`an dan
memerintahkan untuk memerangi seluruhnya.
- Sisi kedua: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
membeda-bedakan antara penyembah berhala dan penyembah
malaikat atau orang shalih.
“Dan dalil orang-orang shalih” yakni bahwa di sana ada yang menyembah orang-orang shalih dari kalangan manusia adalah firman
Allah ta’ala yang artinya, “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka
sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah).” (QS. Al-Isra`: 57).
Ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai orang yang
menyembah ‘Isa Al-Masih dan ibunya, serta ‘Uzair. Allah subhanahu wa
ta’ala mengabarkan bahwa ‘Isa Al-Masih, ibu beliau Maryam, dan ‘Uzair
seluruhnya adalah hamba-hamba milik Allah. Mereka mendekatkan diri
kepada Allah, mengharap rahmatNya, dan takut dari azabNya. Jadi,
mereka adalah hamba-hamba yang butuh kepada Allah, faqir
kepadaNya. Mereka berdoa kepadaNya dan bertawasul kepadaNya
dengan mengerjakan ketaatan. “mereka sendiri mencari jalan kepada
Rabb mereka.” (QS. Al-Isra`: 57). Yakni: kedekatan denganNya subhanahu wa ta’ala dengan menaatiNya dan beribadah kepadaNya.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak boleh untuk diibadahi karena
mereka adalah manusia yang butuh dan faqir, mereka berdoa kepada
Allah, mengharap rahmatNya, dan takut dari azabNya. Barangsiapa yang
demikian keadaaannya, maka dia tidak boleh diibadahi bersama Allah
subhanahu wa ta’ala.
Pendapat kedua bahwa ayat ini turun mengenai orang dari kaum
musyrikin yang menyembah sekelompok jin. Lalu jin itu masuk Islam
namun orang-orang yang menyembah mereka tadi tidak mengetahui
dengan keislaman mereka. Jin-jin tersebut mendekatkan diri kepada
Allah dengan ketaatan dan ketundukan diri, mengharap rahmatNya, dan
takut dari azabNya. Jadi, mereka adalah hamba-hamba yang butuh dan
faqir. Tidak boleh untuk diibadahi.
Pendapat mana saja yang diinginkan dari ayat yang mulia ini tetap
menunjukkan bahwa tidak boleh ibadah kepada orang-orang shalih.
Sama saja apakah mereka itu para nabi, shiddiqin, atau dari kalangan
para wali dan orang-orang shalih. Tidak boleh beribadah kepada
mereka. Karena seluruhnya adalah hamba Allah yang faqir kepadaNya.
Lantas bagaimana bisa mereka diibadahi bersama Allah jalla wa ‘ala?!
Wasilah maknanya adalah ketaatan dan kedekatan. Wasilah secara
bahasa adalah sesuatu yang menyampaikan kepada tujuan. Sehingga
setiap yang menyampaikan kepada ridha Allah dan surgaNya, maka ia
adalah wasilah kepada Allah. Inilah wasilah yang disyariatkan dalam
firmanNya ta’ala yang artinya, “dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 35).
Adapun orang yang menyimpang dan ahli khurafat, mereka mengatakan
bahwa wasilah yaitu kita menjadikan antara engkau dengan Allah suatu
perantara dari para wali, orang-orang shalih, dan orang-orang yang
telah mati. Kita menjadikan mereka sebagai perantara antara engkau
dengan Allah supaya mereka dapat mendekatkan engkau kepada Allah.
“Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).
Jadi, makna wasilah menurut ahli khurafat adalah engkau menjadikan
antara engkau dengan Allah suatu perantara yang dapat mengenalkan
engkau kepada Allah dan menyampaikan dan mengabarkan
kebutuhanmu kepadaNya. Seakan-akan Allah jalla wa ‘ala itu tidak
mengetahui atau seakan-akan Allah jalla wa ‘ala itu pelit tidak mau
memberi kecuali setelah mendekat kepadaNya melalui perantara. Maha
Tinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Berdasar pemahaman ini, mereka menyerupakan Allah dengan manusia
dan mengatakan: Allah jalla wa ‘ala berfirman yang artinya, “Orangorang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah kepada
Rabb mereka.” (QS. Al-Isra`: 57). Kata mereka, ayat ini menunjukkan
bahwa menjadikan wasilah dari kalangan makhluk untuk menyampaikan
kepada Allah adalah perkara yang disyariatkan karena Allah memuji
pelakunya. Juga pada ayat yang lainnya, yang artinya, “Wahai orangorang
yang beriman, berimanlah kepada Allah dan carilah wasilah
kepadaNya serta berjihadlah di jalanNya.” (QS. Al-Maidah: 35).
Mereka mengatakan: Allah memerintahkan kita agar kita menjadikan
wasilah kepadaNya, sedangkan wasilah artinya perantara. Seperti inilah
mereka mengubah-ubah perkataan dari tempat-tempatnya. Wasilah
yang disyariatkan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah ketaatan
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan bertawasul dengan
nama-nama dan sifat-sifatNya subhanahu wa ta’ala. Inilah wasilah yang
disyariatkan. Adapun bertawasul kepada Allah dengan makhlukmakhluk,
maka ini adalah wasilah yang dilarang dan wasilah syirik. Dan
inilah perbuatan orang-orang musyrikin dahulu, “Mereka beribadah
kepada selain Allah yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak
pula dapat memberi manfaat. Mereka mengatakan bahwa sesembahan
itu adalah pemberi syafaat untuk kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18).
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali
berkata: Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Ini adalah
kesyirikan orang-orang dahulu dan sekarang. Sama persis. Meskipun
mereka menamainya dengan wasilah, namun hakikatnya itulah
kesyirikan dan bukan wasilah yang Allah subhanahu wa ta’ala
syariatkan. Karena Allah tidak menjadikan kesyirikan sebagai jalan yang
mendekatkan kepadaNya selama-lamanya. Bahkan ia menjauhkan dari
Allah subhanahu wa ta’ala. “Sesungguhnya barangsiapa yang
menyekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan surga atasnya dan
tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi
orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Maidah: 72). Sehingga bagaimana
bisa kesyirikan dijadikan sebagai perantara kepadaNya?!! Maha tinggi
Allah dari apa yang mereka ucapkan.
Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah bahwa di ayat tersebut ada dalil
bahwa di sana ada orang-orang musyrik yang menyembah orang-orang
shalih. Karena Allah menjelaskan hal tersebut dan Dia juga menjelaskan
bahwa yang mereka jadikan sesembahan itu adalah hamba-hamba yang faqir. “Mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka” yakni:
mereka mendekatkan kepadaNya dengan melakukan ketaatan. “Siapa di
antara mereka yang lebih dekat” mereka berlomba-lomba menuju Allah
jalla wa ‘ala dengan ibadah. Karena kefakiran dan kebutuhan mereka
kepada Allah. “Mereka mengharap rahmatNya dan takut dari azabNya”
sehingga barangsiapa yang keadaannya seperti ini, maka ia tidak boleh
untuk menjadi sesembahan yang diseru dan diibadahi bersama Allah
‘azza wa jalla.
Dalil bahwa ada orang yang menyembah bebatuan dan
pepohonan dan itu merupakan kesyirikan adalah firman Allah
ta’ala yang artinya, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap Lata dan Uzza, dan Manat yang ketiga, yang
paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (QS. AnNajm:
19-20) [15] .
Ucapan beliau “dalil bebatuan dan pepohonan… dst”, pada ayat ini ada
dalil bahwa di sana ada orang musyrik yang menyembah bebatuan dan
pepohonan.
Firman Allah, adalah pertanyaan pengingkaran. Yakni:
Kabarkanlah kepadaku. Termasuk pada pertanyaan pengingkaran dan
perendahan.
Laata dengan huruf ta` yang tidak ditasydid adalah nama berhala di
Thaif. Ungkapan dari sebuah batu berukir yang di atasnya dibangun
rumah yang mempunyai tirai-tirai sehingga menandingi Ka’bah. Di
sekitarnya ada lapangan dan di dekatnya ada juru kuncinya. Mereka
dahulu menyembahnya selain kepada Allah ‘azza wa jalla. Berhala ini milik Bani Tsaqif dan kabilah-kabilah yang loyal kepada mereka. Mereka
membanggakan berhala tersebut.
Bisa dibaca pula dengan Laatta dengan mentasydid huruf ta` yaitu isim
fa’il dari ت
ُ
َّت ي ل
ل ,yaitu: seorang yang shalih dahulu biasa mengadon
tepung lalu memberi makan orang-orang yang haji dengannya. Ketika
orang tersebut meninggal, orang-orang membangun rumah di atas
kuburannya. Mereka menjuntaikan tirai-tirai. Akhirnya mereka
menyembahnya selain kepada Allah ‘azza wa jalla. Inilah Laatta.
‘Uzza adalah pohon-pohon yang termasuk jenis salam (satu jenis pohon
akasia yang daunnya bisa dipakai untuk menyamak) di Wadi Nakhlah
antara Makkah dan Thaif. Di sekitarnya ada bangunan dan tirai-tirai dan
di dekatnya ada juru kuncinya. Di dalam pohon tersebut ada setan-setan
yang berbicara kepada manusia. Orang-orang bodoh menyangka bahwa
yang berbicara adalah pohon tersebut atau rumah yang mereka bangun.
Padahal sesungguhnya yang berbicara kepada mereka adalah setansetan
untuk menyesatkan mereka dari jalan Allah. Berhala ini dulunya
milik Quraisy dan penduduk Makkah dan sekitarnya.
Manat adalah sebuah batu besar di suatu tempat yang terletak di dekat
gunung Qudaid, di antara Makkah dan Madinah. Dulunya batu ini milik
Khuza’ah, ‘Aus, dan Khazraj. Mereka dulunya berihram haji dari situ dan
mereka sembah selain Allah.
Tiga berhala ini adalah berhala yang paling besar di ‘Arab.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kabarkan kepadaku tentang Laata,
‘Uzza, dan Manat.” Apakah berhala-berhala itu dapat mencukupi
sesuatu? Apakah mereka memberi manfaat kepada kalian? Apakah
mereka menolong kalian? Apakah mereka menciptakan, memberi
rezeki, menghidupkan, dan mematikan? Apa yang kalian dapatkan dari mereka? Ayat ini dalam konteks mengingkari dan memperingatkan akalakal
agar kembali kepada akal yang lurus. Berhala-berhala ini hanyalah
bebatuan dan pepohonan yang tidak memiliki manfaat dan madharat,
bahkan mereka itu diciptakan.
Tatkala Allah mendatangkan syariat Islam dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membuka kota Makkah yang mulia, beliau mengutus
Al-Mughirah bin Syu’bah dan Abu Sufyan bin Harb menuju Laata di
Thaif. Keduanya menghancurkannya sesuai perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga mengutus Khalid ibnul Walid
menuju ‘Uzza. Lalu Khalid menghancurkannya dan menebang pepohonan serta membunuh jin wanita yang dulunya berada di
dalamnya mengajak bicara orang-orang dan menyesatkan mereka.
Maka, Khalid memusnahkan sampai ke akar-akarnya. Alhamdulillah.
Nabi juga mengutus ‘Ali bin Abi Thalib menuju Manat, lalu ‘Ali
menghancurkan dan memusnahkannya. Ternyata berhala-berhala itu
tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri. Lalu bagaimana mereka
bisa menyelamatkan para pemuja dan penyembahnya. “Kabarkanlah
kepadaku tentang Laata, ‘Uzza, dan Manat yang ketiga yang lain.”
Kemana perginya mereka? Apakah bermanfaat bagi kalian? Apakah
mereka dapat menahan diri mereka dari para tentara Allah dan pasukan
tauhid?
Kesimpulannya, di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa di sana ada
orang-orang yang menyembah pepohonan dan bebatuan. Bahkan ketiga
berhala dalam ayat tersebut merupakan berhala orang-orang musyrik
yang paling besar. Namun demikian, Allah telah memusnahkan
keberadaan mereka. Berhala-berhala itu tidak dapat membela dirinya
dan tidak dapat memberi manfaat untuk para penyembahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerangi mereka dan
berhala-berhala itu pun tidak dapat mencegahnya. Kandungan inilah yang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah jadikan dalil
bahwa di sana ada orang-orang yang menyembah bebatuan dan
pepohonan.
Dan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
Hunain. Waktu itu kami masih baru masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka i’tikaf di situ dan
mereka gantungkan senjata-senjata mereka di situ. Pohon itu
dinamakan Dzatu Anwath. Ketika kami melewati pohon itu, kami
mengatakan, “Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami Dzatu
Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath…” Al-Hadits [16] .
Subhanallah, manusia yang berakal malah menyembah pepohonan dan
bebatuan yang mati, yang tidak punya akal, yang tidak bisa bergerak,
dan tidak hidup. Di mana akal-akal manusia itu? Maha tinggi Allah dari
apa yang mereka ucapkan.
Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu. Beliau termasuk shahabat
yang masuk Islam pada tahun Fathu Makkah tahun 8 hijriyyah menurut
pendapat yang masyhur.
Dinamakan dzatu anwath. Al-anwath adalah bentuk jamak dari nauth
yang artinya gantungan. Jadi artinya pohon yang mempunyai
gantungan-gantungan yang digunakan untuk menggantung senjatasenjata
mereka untuk mencari berkah dengannya. Sebagian shahabat
yang baru saja memeluk agama Islam dan belum mengenal tauhid secara sempurna mengatakan, “Buatkanlah dzatu anwath untuk kami
sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.” Ini adalah bencana akibat
taklid dan tasyabbuh. Bahkan ini adalah bencana yang paling besar.
Seketika itu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkejut seraya
mengatakan, “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!” Beliau apabila
terkejut oleh sesuatu atau mengingkari sesuatu biasa mengucapkan
takbir atau mengatakan, “Subhanallah” dan beliau ulang-ulang.
Innaha sunan yaitu jalan-jalan yang manusia tempuh dan sebagian
mereka mencontoh sebagian yang lain. Jadi sebab yang mengantarkan
mereka mengatakan ucapan tersebut adalah mengikuti jalan-jalan hidup
orang-orang dahulu dan menyerupai orang-orang musyrik.
Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, kalian telah mengatakan
seperti perkataan Bani Israil kepada Musa: “Buatlah untuk kami sebuah
tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan
(berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang
tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 138). Musa ‘alaihis salam ketika telah
melewati laut bersama Bani Israil dan ketika Allah telah
menenggelamkan musuh mereka di dalam laut dalam keadaan mereka
melihatnya; Musa dan Bani Israil melewati orang-orang musyrik yang
sedang beri’tikaf di tempat berhala mereka. Lalu Bani Israil berkata kepada Musa ‘alaihis salam, “Buatlah untuk kami sebuah tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).”
Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak
mengetahui.” Musa mengingkari mereka dan berkata, “Sesungguhnya
mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya” yakni batal.
“Dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan” karena perbuatan
mereka adalah kesyirikan. “Musa menjawab: Patutkah aku mencari
sesembahan untuk kalian selain Allah, padahal Dialah yang telah
melebihkan kalian atas segala umat.” (QS. Al-A’raf: 139-140). Musa
‘alaihish shalatu was salam mengingkari mereka sebagaimana Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari para shahabat
itu. Namun Bani Israil dan para shahabat belum sampai melakukan
kesyirikan. Bani Israil ketika mengucapkan ucapan tersebut, mereka
tidak sampai syirik karena mereka tidak sampai melakukannya.
Demikian pula para shahabat. Seandainya mereka membuat dzatu
anwath niscaya mereka jatuh dalam kesyirikan. Akan tetapi Allah
menjaga mereka, yaitu ketika Nabi mereka melarang mereka lantas
mereka pun berhenti. Di samping itu, mereka mengucapkan ucapan
tersebut karena kebodohan. Mereka tidak mengucapkannya dengan
tujuan syirik. Sehingga ketika mereka telah mengetahui bahwa ucapan
tersebut adalah kesyirikan, mereka berhenti dan tidak melakukannya.
Sekiranya mereka melakukannya niscaya mereka terjatuh dalam
perbuatan menyekutukan Allah ‘azza wa jalla.
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah bahwa di sana ada orang
yang menyembah pepohonan. Karena orang-orang musyrik itu telah
membuat dzatu anwath. Dan orang-orang yang belum mapan ilmunya
di dalam hatinya dari kalangan shahabat berusaha untuk menyerupai
mereka sekiranya Allah tidak menjaga mereka melalui RasulNya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang menjadi dalil adalah bahwa di sana ada orang yang mencari berkah
kepada pepohonan dan beri’tikaf di situ. I’tikaf artinya menetap di
tempat itu beberapa saat dalam rangka mendekatkan diri kepadanya.
Jadi arti i’tikaf adalah menetap di sebuah tempat.
Hadits ini menunjukkan beberapa masalah yang agung:
1. Bahaya kebodohan terhadap tauhid. Karena barangsiapa yang bodoh
terhadap tauhid sangat mungkin jatuh ke dalam kesyirikan dalam
keadaan tidak menyadari. Atas dasar itu, wajib untuk mempelajari
tauhid dan lawannya yaitu syirik sehingga sampai manusia itu berada di
atas ilmu supaya tidak melakukan kesyirikan akibat ketidaktahuannya.
Terlebih lagi apabila ia melihat seseorang yang melakukan kesyirikan,
lalu ia menganggapnya sebagai kebenaran akibat ketidaktahuannya.
Jadi pada hadits tersebut mengandung faidah bahayanya kebodohan
terlebih di dalam perkara akidah.
2. Di dalam hadits ini ada faidah bahayanya menyerupai orang-orang
musyrik. Hal ini sering mengantarkan kepada kesyirikan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barang siapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Sehingga, tidak boleh
menyerupai orang-orang musyrik.
3. Bahwa mencari berkah kepada bebatuan, pepohonan, dan bangunanbangunan
adalah syirik, walaupun perbuatan ini mereka tidak namakan
syirik. Karena ia telah mencari berkah dari selain Allah dari bebatuan, pepohonan, dan pekuburan. Dan ini adalah syirik, meskipun mereka
menamakannya dengan selain nama syirik.
3. KAIDAH KETIGA
Reviewed by suqamuslim
on
03.25
Rating:
Tidak ada komentar: