karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1115 - 1206 H)
Syarah Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan
Anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama dan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Ifta`
Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb ‘arsy yang
agung, agar Dia melindungi engkau di dunia dan akhirat. Dan agar
Dia menjadikan engkau diberkahi di manapun engkau berada, dan
agar menjadikan engkau menjadi seseorang yang jika diberi lalu
dia bersyukur, jika diberi cobaan lalu dia bersabar, dan jika dia
berbuat dosa maka dia memohon ampun. Karena ketiga hal ini
adalah tanda kebahagiaan seorang hamba.(1)
Ini adalah Al-Qawa’idul Arba’ (empat kaidah) yang telah ditulis oleh
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah.
Ini adalah risalah yang tersendiri. Akan tetapi dia diterbitkan bersama
dengan Tsalatsatul Ushul dikarenakan kebutuhan untuk bisa sampai di
hadapan para penuntut ilmu.
Al-Qawa’id adalah bentuk jamak dari qa’idah. Yaitu pondasi yang
bercabang darinya banyak permasalahan atau cabang-cabang.
Kandungan keempat kaidah yang disebutkan oleh Syaikh di sini adalah mengenal tauhid dan syirik. Apa kaidah dalam masalah tauhid? Apa
kaidah dalam perkara syirik? Karena banyak orang yang serampangan
dalam dua perkara ini. Mereka seenaknya sendiri dalam memaknai apa
tauhid dan syirik tersebut. Setiap orang menafsirkannya sesuai dengan
hawa nafsunya.
Bahkan yang wajib bagi kita dalam meletakkan kaidah adalah dengan
mengembalikan kepada kitab dan sunnah agar peletakan kaidah ini
benar dan selamat diambil dari kitab Allah dan sunnah RasulNya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih lagi dalam dua perkara yang besar
ini, yaitu tauhid dan syirik.
Syaikh rahimahullah tidak menyebutkan kaidah ini dari pendapat atau
pemikiran beliau sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang
yang serampangan itu. Beliau mengambil kaidah-kaidah ini hanya dari
kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
perjalanan hidup beliau.
Maka, jika engkau telah mengetahui kaidah-kaidah ini dan
memahaminya, akan mudah bagimu setelah itu untuk mengenali tauhid
yang dengannya lah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitabkitabNya;
dan untuk mengenali syirik yang Allah telah peringatkan
darinya dan Allah telah jelaskan bahayanya di dunia dan akhirat.
Ini adalah perkara yang sangat penting. Bahkan lebih penting bagimu
daripada mengetahui hukum-hukum shalat, zakat, ibadah, dan seluruh
perkara agama. Karena ini adalah perkara yang paling pertama dan
mendasar. Karena shalat, zakat, haji, dan ibadah lainnya tidak sah
apabila tidak dibangun di atas pondasi akidah yang benar, yaitu tauhid
yang murni untuk Allah ‘azza wa jalla.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah telah memulai
empat kaidah ini dengan pendahuluan yang agung. Di dalamnya ada doa
untuk para penuntut ilmu dan peringatan terhadap apa yang hendak
beliau sampaikan. Yaitu, ketika beliau menyebutkan: Aku meminta
kepada Allah yang Maha Mulia, Rabb ‘arsy yang agung, agar Dia
melindungi engkau di dunia dan akhirat. Dan agar Dia menjadikan
engkau diberkahi di manapun engkau berada, dan agar menjadikan
engkau menjadi seseorang yang jika diberi lalu dia bersyukur, jika diberi
cobaan lalu dia bersabar, dan jika dia berbuat dosa maka dia memohon
ampun. Karena ketiga hal ini adalah tanda kebahagiaan seorang hamba.
Ini adalah pendahuluan yang sangat agung. Di dalamnya ada doa dari
Syaikh rahimahullah untuk setiap penuntut ilmu yang sedang
mempelajari akidahnya dalam rangka menginginkan kebenaran dan
hendak untuk menjauh dari kesesatan dan kesyirikan. Karenanya, ia
pantas untuk mendapat perlindungan Allah di dunia dan akhirat.
Jika Allah telah melindunginya di dunia dan akhirat, maka tidak ada jalan
bagi hal-hal yang tidak disukai untuk sampai kepadanya. Tidak pada
agamanya, tidak pula pada dunianya. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orangorang
yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan…” (QS. AlBaqarah:
257). Dan jika Allah telah melindungimu, maka dia akan
mengeluarkan engkau dari segala kegelapan. Dari kegelapan syirik,
kekufuran, keragu-raguan, dan penentangan menuju cahaya iman, ilmu
yang bermanfaat, dan amal shalih. “Yang demikian itu karena
sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai
pelindung.” (QS. Muhammad: 11).
Dan jika Allah telah melindungimu dengan pemeliharaanNya, taufiqNya,
dan hidayahNya di dunia dan akhirat, maka sungguh engkau akan
berbahagia dengan kebahagiaan yang tidak ada kepedihan setelahnya
selama-lamanya. Di dunia, Allah akan melindungimu dengan hidayah,
taufik, dan perjalanan di atas metode yang selamat. Dan di akhirat, Allah
akan melindungimu dengan memasukkan engkau ke dalam surgaNya,
kekal dan dikekalkan. Di dalamnya tidak ada sedikitpun ketakutan, sakit,
kepedihan, ketuaan, dan tidak ada pula perkara yang tidak disukai.
Inilah perlindungan Allah bagi hambaNya yang beriman di dunia dan
akhirat.
Beliau berkata, “Dan agar menjadikan engkau diberkahi di manapun
engkau berada.” Jika Allah menjadikanmu diberkahi di mana saja
engkau berada, maka ini adalah puncak cita-cita. Allah menjadikan
umurmu berkah, rezekimu berkah, ilmumu berkah, amalanmu berkah,
dan keturunanmu berkah. Di mana saja engkau, berkah menyertaimu ke
mana saja engkau pergi. Ini adalah kebaikan yang sangat agung dan
karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata, “Dan agar menjadikan engkau termasuk orang yang bila diberi, maka ia bersyukur.” Berbeda
dengan orang yang jika diberi, lalu ia mengingkari kenikmatan itu dan
menentangnya. Karena sungguh banyak manusia jika mereka diberi
kenikmatan, mereka mengkufurinya dan mengingkarinya. Dan mereka
menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sehingga jadilah menjadi sebab kepada kecelakaan mereka. Adapun
orang yang bersyukur, maka Allah sungguh akan menambah kepadanya.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian memaklumkan: Sesungguhnya
jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada
kalian…” (QS. Ibrahim: 7).
Dan Allah jalla wa ‘ala menambah karuniaNya dan kebaikanNya kepada
orang-orang yang bersyukur. Sehingga jika engkau ingin tambahan
nikmat, maka bersyukurlah kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan jika engkau
ingin kenikmatan itu hilang, maka ingkarilah kenikmatan itu.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan bila
ia diberi cobaan, maka ia sabar.” Allah jalla wa ‘ala memberi cobaan
kepada para hamba. Dia menguji mereka dengan musibah-musibah,
dengan perkara yang tidak disukai, dengan musuh-musuh dari kalangan
orang kafir dan munafik. Sehingga mereka butuh untuk bersabar, tidak
pesimis, dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Dan mereka tetap kokoh
di atas agama mereka. Mereka tidak menjauh dari agama bersama
fitnah-fitnah atau pasrah terhadap ujian-ujian. Bahkan mereka tetap
kokoh di atas agama mereka dan sabar terhadap penderitaan berupa
keletihan-keletihan di jalan agama itu. Beda dengan orang yang jika
diberi cobaan, dia tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah
‘azza wa jalla. Justru ini adalah cobaan yang ditambah di atas cobaan
dan musibah di atas musibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum,
maka ia akan memberi cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridha, maka
ridha Allah baginya dan barangsiapa marah, maka kemurkaan Allah
untuknya.”
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi kemudian yang
semisal mereka, lalu yang semisal mereka.” Para rasul diberi cobaan,
para shiddiqun diberi cobaan, para syuhada diberi cobaan, dan orangorang
mukmin pun diberi cobaan. Namun mereka bersabar. Adapun
orang munafik, maka sungguh Allah telah berfirman mengenai mereka
yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah
dengan berada di tepi;” Yakni di pinggiran. “maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu
bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat.
Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).
Jadi, dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lezat, bahagia, dan
ditolong. Tidak selamanya seperti itu. Allah menggilirnya di antara para
hamba. Para sahabat itu adalah seutama-utama umat. Ternyata terjadi
pada mereka cobaan-cobaan dan ujian-ujian. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Itulah hari-hari yang Kami pergilirkan di antara manusia.”
(QS. Ali ‘Imran: 140). Sehingga, hendaklah seorang hamba menenangkan jiwanya. Bahwa apabila dia diberi cobaan, sesungguhnya
itu tidak hanya terjadi pada dirinya saja. Bahkan cobaan itu dahulu
sudah menimpa para wali Allah. Maka hendaknya dia tenangkan
jiwanya, sabar, dan menunggu kelapangan dari Allah ta’ala. Dan akibat
yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan
apabila ia berbuat dosa, maka ia pun memohon ampun kepada Allah.”
Adapun orang yang berbuat dosa lalu tidak meminta ampun, malah
menambah dosa-dosa, maka ia celaka –wal ‘iyadzu billah-. Akan tetapi
seorang yang beriman itu apabila muncul dosa dari dirinya, ia segera
bertaubat. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain Allah?” (QS. Ali ‘Imran: 135).
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang
yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera.” (QS. An-Nisa`: 17). Makna kejahilan bukanlah
tidak adanya ilmu, karena orang yang tidak mengetahui ilmu itu tidak
disiksa. Akan tetapi kejahilan di sini adalah tidak adanya penguasaan
diri. Setiap orang yang bermakisat kepada Allah maka ia jahil yang
bermakna kurang penguasaan diri, kurang akal, dan kurang peri
kemanusiaannya. Terkadang seorang itu berilmu, akan tetapi ia jahil
dari sisi yang lain. Dari sisi bahwa ia tidak memiliki penguasaan diri dan
kekokohan di dalam beberapa perkara. “Kemudian mereka bertaubat
dengan segera” yakni setiap mereka berbuat dosa, lantas mereka
memohon ampun. Tidak ada seorang pun yang ma’shum (terjaga) dari
perbatan dosa. Akan tetapi, segala puji bagi Allah, bahwa Allah membuka pintu taubat. Maka, wajib bagi hamba jika ia berbuat dosa
untuk segera bertaubat. Namun, apabila hamba itu tidak bertaubat dan
tidak memohon ampun, maka ini adalah tanda kecelakaan baginya.
Kemudian terkadang ia berputus asa dari rahmat Allah, lalu setan
mendatanginya seraya mengatakan padanya: Tidak ada taubat
untukmu.
Inilah ketiga perkara itu, yaitu: Jika ia diberi, ia bersyukur. Jika ia diberi
cobaan, ia bersabar. Dan apabila ia berbuat dosa, lantas ia meminta
ampun. Inilah tanda kebahagian. Barangsiapa yang diberi taufik oleh
Allah di dalam tiga perkara ini, niscaya ia akan meraih kebahagiaan.
Adapun orang yang dihalangi dari perkara tersebut atau sebagiannya,
maka ia celaka.
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk mentaatiNya,
bahwa agama yang lurus -agama Ibrahim- adalah bahwa engkau
menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama ini
untukNya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka
beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).[2]
“Ketahuilah, semoga Allah membimbing engkau” ini adalah doa dari
Syaikh rahimahullah. Dan demikianlah selayaknya bagi pengajar untuk
mendoakan kebaikan untuk para pelajar. Dan taat kepada Allah
maknanya adalah melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi
larangan-laranganNya.
“Bahwa al-hanifiyyah adalah agama Ibrahim”, Allah jalla wa ‘ala
memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti agama Ibrahim, Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk
mengikuti agama Ibrahim yang lurus dan tidaklah Ibrahim termasuk
orang-orang yang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123).
Al-hanifiyyah adalah agama al-hanif dan beliau adalah Ibrahim ‘alaihish
shalatu was salam. Al-hanif adalah yang menghadap kepada Allah dan
berpaling dari selainNya. Inilah makna al-hanif, yaitu: yang menghadap
kepada Allah dengan hatinya, amalan-amalannya, niat-niatnya, dan
tujuan-tujuannya. Seluruhnya untuk Allah. Dan berpaling dari selain Dia.
Dan Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim,
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim.” (QS. Al-Hajj:
78).
Agama Ibrahim adalah agar engkau beribadah kepada Allah semata
dengan mengikhlaskan agama ini untukNya. Inilah al-hanifiyyah. Tidak
cukup untuk dikatakan “agar engkau menyembah Allah” saja, namun
harus dengan menambahkan perkataan “dengan mengikhlaskan agama
ini untukNya”. Yakni: engkau juga harus menjauhi kesyirikan, karena
sesungguhnya jika kesyirikan mencampuri ibadah, maka akan membatalkannya. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai ibadah kecuali
jika selamat dari kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil.
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah mereka
diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama ini dengan hanif.” (QS. Al-Bayyinah: 5). Hunafa`
adalah bentuk jamak dari hanif, yaitu: ikhlas untuk Allah ‘azza wa jalla.
Ibadah inilah yang Allah perintahkan seluruh makhluk untuk
melakukannya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dan makna beribadah kepadaKu
adalah mengesakanKu dalam ibadah. Jadi, hikmah dari penciptaan
makhluk adalah agar mereka menyembah Allah ‘azza wa jalla dengan
mengikhlaskan agama untukNya. Memang, sebagian mereka ada yang
melaksanakannya dan ada yang tidak melaksanakannya. Akan tetapi
inilah hakikat hikmah penciptaan mereka. Sehingga, orang yang
beribadah kepada selain Allah, maka orang ini hakikatnya menyelisihi
hikmah penciptaan makhluk dan menyelisihi perintah dan syariat.
Ibrahim adalah bapak para nabi yang datang setelah beliau. Mereka
seluruhnya termasuk keturunan beliau. Oleh karena inilah, Allah jalla
wa ‘ala berfirman yang artinya, “Dan telah Kami jadikan kenabian dan
kitab pada keturunannya.” (QS. Al-Ankabut: 27). Mereka seluruhnya
dari Bani Israil –cucu Ibrahim ‘alaihis salam-, kecuali Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau dari keturunan Isma’il. Jadi,
setiap nabi dari anak-anak Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam sebagai
kemuliaan bagi beliau.
Allah telah menjadikan beliau sebagai pemimpin manusia. Yakni,
teladan. “Allah berkata, sesungguhnya Aku menjadikan seorang
pemimpin bagi manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124), yaitu: teladan.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah ummah.” (QS. An-Nahl: 120) yaitu:
pemimpin yang dicontoh.
Untuk perkara itulah Allah memerintahkan seluruh makhluk. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56). Maka, Ibrahim pun menyeru manusia untuk
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain.
Seluruh para nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan
meninggalkan peribadahan kepada selain Allah. Sebagaimana Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh telah Kami utus seorang rasul
pada setiap umat, agar (menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah dan
jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36).
Adapun syariat yang merupakan perintah, larangan, dan halal haram,
maka syariat ini berbeda-beda dengan berbedanya umat-umat sesuai
kebutuhan. Allah menetapkan suatu syariat kemudian menghapusnya
dengan syariat lain. Hingga syariat Islam datang. Maka syariat Islam ini
menghapus seluruh syariat-syariat sebelumnya. Dan tetaplah syariat
Islam ini sampai hari kiamat tiba. Adapun pokok agama para nabi –yaitu
tauhid-, maka tidak dihapus dan tidak akan dihapus. Agama mereka satu
yaitu agama Islam dengan makna ikhlas kepada Allah dengan
mentauhidkanNya.
Adapun syariat tiap umat memang berbeda-beda dan dihapus. Akan
tetapi tauhid dan akidah dari Nabi Adam sampai nabi terakhir semuanya
mengajak kepada tauhid dan kepada menyembah Allah. Dan ibadah
kepada Allah adalah mentaatiNya dengan apa yang telah Dia
perintahkan dalam syariat, kapan pun itu. Namun, apabila syariat itu
telah dihapus, maka mengamalkan syariat yang menghapus adalah
ibadah. Adapun mengamalkan syariat yang telah dihapus bukan
merupakan ibadah kepada Allah.
Sehingga, jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakan
engkau untuk beribadah kepadaNya, maka ketahuilah, bahwa
ibadah itu tidak dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid.
Sebagaimana bahwa shalat tidak dinamakan shalat kecuali
bersama thaharah. Jika syirik masuk ke dalam ibadah, ia akan
merusaknya. Seperti halnya hadats apabila masuk ke dalam thaharah. [3]
“Sehingga, jika engkau mengetahui bahwa Allah menciptakan engkau
agar engkau beribadah kepadaNya”, yakni: Jika engkau telah
mengetahui ayat ini, yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat:
56) dan engkau termasuk dari jenis manusia yang masuk ke dalam ayat
ini dan engkau telah mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan
engkau sia-sia, Allah tidak menciptakan engkau agar engkau makan dan
minum saja, engkau hidup di dunia ini kemudian bebas lagi sombong.
Allah tidak menciptakan engkau untuk tujuan ini. Allah menciptakan
engkau untuk beribadah kepadaNya. Segala sesuatu yang ada di dunia
ini Allah tundukkan untuk engkau hanya agar dapat membantumu
untuk beribadah kepadaNya, karena sungguh engkau tidak bisa hidup
kecuali dengannya. Dan engkau tidak bisa sampai kepada tujuan
beribadah kepada Allah kecuali dengannya. Allah tundukkan ia untukmu
agar engkau menyembahNya, bukan agar engkau berbangga
dengannya, lalu engkau bebas, sombong, berbuat fasik dan fajir. Engkau
makan dan minum semaumu sendiri. Yang demikian itu adalah
keadaannya binatang ternak. Adapun manusia, maka Allah jalla wa ‘ala
menciptakan mereka untuk tujuan dan hikmah yang sangat agung, yaitu
ibadah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan
jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak
menginginkan sedikit pun rezeki dari mereka.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-
57).
Allah tidak menciptakanmu agar engkau memberi nafkah kepadaNya,
bekerja, dan mengumpulkan harta untukNya. Seperti yang dilakukan
sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Mereka menjadikan para
pekerja yang mengumpulkan penghasilan untuk mereka. Bukan untuk
itu. Allah maha kaya dari hal tersebut dan Allah maha kaya dari alam
semesta. Oleh karenanya, Allah berfirman yang artinya, “Aku tidak
menginginkan sedikit pun rezeki dari mereka dan Aku tidak ingin agar
mereka memberiKu makan.” (QS. Adz-Dzariyat: 57). Allah jalla wa ‘ala
yang memberi makan dan tidak diberi makan, Dia tidak butuh makanan, dan Allah jalla wa ‘ala adalah Dzat yang maha kaya. Allah tidak butuh
pula kepada ibadahmu. Seandainya engkau kafir, engkau tidaklah
mengurangi kerajaan Allah. Bahkan engkau lah yang butuh kepadaNya.
Engkau yang butuh kepada ibadah. Sehingga, termasuk rahmat Allah
adalah bahwa Dia memerintahkan engkau beribadah kepadaNya untuk
kemaslahatanmu sendiri. Karena jika engkau menyembahNya, maka
Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan
pahala. Jadi ibadah adalah sebab pemuliaan Allah kepadamu di dunia
dan akhirat. Jadi, siapakah yang sesungguhnya mendapatkan faidah dari
ibadah? Pihak yang mendapatkan faidah ibadah adalah hamba itu
sendiri. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala tidak membutuhkan makhlukNya.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, bahwa ibadah itu tidak bisa dinamakan ibadah kecuali
disertai tauhid. Sebagaimana shalat itu tidak bisa dinamakan shalat
kecuali disertai bersuci.”
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
Jika engkau telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk
ibadah kepadaNya, maka sungguh ibadah itu tidak menjadi ibadah yang benar yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai, kecuali jika dua syarat
terpenuhi padanya. Jika satu syarat tidak terpenuhi, maka ibadah
tersebut batal.
Syarat pertama: Ibadah itu ikhlas mengharap wajah Allah, tidak ada
sedikitpun syirik pada ibadah itu. Sehingga, jika syirik mencampuri
ibadah itu, maka menjadi batal. Seperti bersuci. Jika hadats
mencampurinya, maka kesuciannya batal. Seperti itu pula jika engkau
menyembah Allah kemudian engkau sekutukan Dia, maka ibadahmu
batal. Ini syarat pertama.
Syarat kedua: Mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga,
ibadah apa saja yang Rasulullah tidak contohkan, maka amalan ibadah
tersebut bathil dan tertolak. Karena itu merupakan bid’ah dan
keyakinan yang rusak. Atas hal inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan
yang tidak ada contoh dari kami, maka amalan itu tertolak.” Dalam
riwayat lain, “Barangsiapa mengada-adakan -pada urusan agama kita
ini- sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak.” Maka,
ibadah itu harus sesuai dengan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ajarkan. Ibadah itu bukan berdasarkan anggapan baik, niatan
baik, dan tujuan baik manusia. Selama amalan itu tidak ditunjukkan oleh
satu dalil syar’i, maka ia adalah bid’ah dan tidak dapat memberi
manfaat kepada pelakunya. Bahkan ia memudharatkannya, karena itu
merupakan kemaksiatan meskipun ia menyangka bahwa amalan itu
dapat mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Jadi, ibadah itu harus ada dua syarat ini: ikhlas dan mengikuti Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga jadilah ibadah tersebut benar lagi
bermanfaat bagi pelakunya. Jika syirik mencampurinya, maka ibadah itu
batal. Dan jika ibadah itu diada-adakan, tidak ada satu dalil pun
padanya, maka ibadah itu pun bathil. Tanpa dua syarat ini, ibadah itu
tidak ada faidahnya, karena amalan ibadah itu tidak di atas syariat Allah
subhanahu wa ta’ala. Dan Allah tidak menerima kecuali apa yang telah
Dia syariatkan di dalam KitabNya atau melalui lisan RasulNya shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sehingga, tidak ada di sana satu pun makhlukNya yang wajib diikuti
kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasul,
maka ia diikuti dan ditaati jika ia mengikuti Rasul. Adapun bila ia
menyelisihi Rasul, maka tidak ada ketaatan. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri kalian.” (QS. AnNisa`:
59). Dan ulil amri adalah para pemimpin dan ulama. Sehingga, jika
mereka mentaati Allah, maka wajib mentaati mereka dan mengikuti
mereka. Adapun apabila mereka menyelisihi perintah Allah, maka tidak
boleh mentaati mereka dan tidak boleh mengikuti mereka pada perkara
yang mereka selisihi. Karena di sana tidak ada seorang pun yang ditaati
secara tersendiri dari kalangan makhluk kecuali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau, maka ditaati dan diikuti jika ia
mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Rasul.
Inilah ibadah yang benar.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata: Jika
engkau telah mengetahui bahwa syirik apabila mencampuri
ibadah akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta
pelakunya akan menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka,
maka engkau mengetahui bahwa perkara terpenting yang wajib
atasmu adalah mengenali hal itu. Semoga Allah
menyelamatkanmu dari jerat ini, yaitu menyekutukan Allah. Yaitu,
yang Allah ta’ala berfirman tentangnya, yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
Allah dan Dia mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 48). Dan perkara tauhid dan syirik itu
dikenali dengan cara mengenali empat kaidah yang telah Allah
ta’ala sebutkan di dalam Kitab-Nya [4]:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Jika engkau telah mengetahui bahwa syirik apabila mencampuri ibadah
akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta pelakunya akan
menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka…” maknanya adalah
selama engkau telah mengetahui tauhid adalah mengesakan Allah
dalam ibadah, maka wajib pula atasmu untuk mengetahui apa itu syirik.
Karena orang yang tidak mengetahui sesuatu dapat jatuh ke dalamnya.
Sehingga engkau harus mengetahui jenis-jenis syirik untuk menjauhinya.
Karena sungguh Allah telah memperingatkan dari syirik dan berfirman
yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
menyekutukan Allah dan Dia mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa
yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 48). Maka, inilah syirik dan inilah
bahayanya, yaitu bahwa syirik dapat menyebabkan pelakunya
diharamkan dari surga. “Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan
Allah, maka sungguh Allah telah haramkan surga untuknya.” (QS. AlMaidah:
72). Dan syirik menyebabkan pelakunya diharamkan dari
ampunan, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan
Allah.” (QS. An-Nisa`: 48).
Jika demikian keadaannya, maka ini adalah bahaya yang sangat besar. Wajib bagimu untuk mengetahuinya sebelum bahaya apapun, karena pada kesyirikan itu akan sesat pemahaman dan akal-akal. Supaya kita mengetahui apa itu syirik dari Kitab dan Sunnah. Allah tidaklah memperingatkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskan dan tidak pula memerintahkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskannya kepada manusia. Dan Dia tidak mengharamkan syirik lalu membiarkannya dengan gambaran yang masih global. Akan tetapi Dia telah menjelaskannya di dalam Al-Qur`an Al-‘Azhim dan RasulNya juga telah menjelaskannya di dalam As-Sunnah dengan penjelasan yang memuaskan. Oleh karena itu, apabila kita ingin untuk mengetahui apa itu syirik, maka kita kembali kepada Kitab dan Sunnah hingga kita mengetahui kesyirikan. Dan janganlah kita kembali kepada ucapan orang. Akan datang penjelasan ini.
Jika demikian keadaannya, maka ini adalah bahaya yang sangat besar. Wajib bagimu untuk mengetahuinya sebelum bahaya apapun, karena pada kesyirikan itu akan sesat pemahaman dan akal-akal. Supaya kita mengetahui apa itu syirik dari Kitab dan Sunnah. Allah tidaklah memperingatkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskan dan tidak pula memerintahkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskannya kepada manusia. Dan Dia tidak mengharamkan syirik lalu membiarkannya dengan gambaran yang masih global. Akan tetapi Dia telah menjelaskannya di dalam Al-Qur`an Al-‘Azhim dan RasulNya juga telah menjelaskannya di dalam As-Sunnah dengan penjelasan yang memuaskan. Oleh karena itu, apabila kita ingin untuk mengetahui apa itu syirik, maka kita kembali kepada Kitab dan Sunnah hingga kita mengetahui kesyirikan. Dan janganlah kita kembali kepada ucapan orang. Akan datang penjelasan ini.
0. MUQODIMAH
Reviewed by suqamuslim
on
02.55
Rating:
Tidak ada komentar: